Oleh: Bagus Setiawan*
Mengingat sejauh mana waktu telah berjalan adalah hal
penting yang harus diperhatikan umat Islam. Setiap detik waktu yang telah kita
lewati serta apa saja yang telah kita perbuat dalam mengisi waktu tersebut,
merupakan hisab bagi diri kita, dan pada saat bersamaan, menjadi bekal dan
pelajaran bagi mereka yang berpikir untuk memperbaiki diri dan mempersiapkan
diri memasuki waktu yang akan datang, memasuki kehidupan baru setelah kematian.
Terkait pentingnya waktu Allah SWT bahkan telah bersumpah
atas nama waktu dalam firmanNya:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْ
Artinya: “Demi masa,
sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling
menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al Ashr: 1-3)
Dalam surat tersebut, Allah SWT
menjadikan waktu yang telah kita lewati sebagai saksi atas apa-apa yang telah
kita kerjakan serta menetapkan manusia yang mendapati kerugian karena tidak
mampu mempergunakan waktu yang mereka miliki dengan baik. Manusia dapat
menghindari kerugian dalam menggunakan waktu tersebut jika masuk ke dalam
golongan manusia yang memenuhi 3 unsur berikut:
1)
Manusia
yang beriman;
2)
Manusia
yang saling menasehati untuk kebenaran;
3)
Manusia
yang saling menasehati untuk kesabaran.
Manusia yang beriman ditetapkan
dalam urutan yang pertama, yang menunjukan skala prioritas, yang bisa diartikan
bahwa sebelum kita menasehati orang lain dalam kebenaran dan kesabaran, diri
kita sendiri harus terlebih dahulu berada dalam iman, masuk ke dalam laa ilaha
ilallah, kalimatul iman, secara kaffah. Aspek iman ini berkaitan erat dengan
pembahasan muhasabah diri, karena sejatinya yang mengetahui kadar keimanan kita
tidak lain hanyalah diri kita sendiri dan Allah SWT.
Melakukan muhasabah terhadap
diri, menjadi salah satu jalan untuk mendorong kita menjadi benar-benar seorang
hamba Allah SWT yang beriman. Dengan melakukan muhasabah diri, kita bisa
mengukur apakah diri kita telah memenuhi ciri dan tanda apa yang disebut dengan
orang yang beriman. Allah SWT dalam hal ini berfirman:
إِنَّمَا
ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ
يُنفِقُونَ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ حَقًّۭا ۚ لَّهُمْ دَرَجَٰتٌ عِندَ
رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌۭ وَرِزْقٌۭ كَرِيمٌۭ
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal,
(yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (Qs. Al-Anfal ayat 2-4).
Lihatlah kepada diri kita masing-masing, sudahkah kita
memenuhi ciri orang-orang beriman seperti yang ditetapkan oleh Allah SWT???
Dalam ayat di atas terdapat 3 ciri utama orang-orang yang
benar-benar beriman, yang pertama dan utama adalah orang yang ketika disebutkan
nama Allah SWT, maka gemetarlah hati mereka. Orang beriman adalah mereka yang
ketika mendengar kalimatul iman dilafadzkan secara dhohir, maka hatinya ikut
berdzikir (ingat) kepada Allah SWT. Dalam konteks ini, orang beriman adalah
mereka yang selalu ingat kepada Allah SWT, mereka yang selalu berdzikir kepada
Allah SWT dalam berbagai kondisi dan situasi, baik secara dhohir maupun batin.
Di hati mereka telah tertanam kalimatul iman “laa ilaha ilallah” sehingga hati
mereka akan terus dzikir (ingat) kepada Allah SWT.
Dengan hati yang selalu dzikir (ingat) kepada Allah SWT maka
berbuahlah menjadi akhlak yang baik, mendorong kita untuk memunculkan ciri-ciri
orang beriman berikutnya. Membuat kita menjadi orang yang selalu tawakal kepada
Allah SWT, menerima segala apa yang ditetapkan oleh Allah SWT, mendorong kita
untuk ringan menegakan sholat dan menyisihkan sebagian rizki kita, besar atau
kecil.
Oleh karena ciri iman yang utama letaknya di dalam hati, maka
melalui muhasabahlah kita dapat mengetahui apakah benar kita sudah masuk dalam
golongan orang-orang yang beriman, atau mungkin iman kita baru sebatas simbol
dan ucapan saja?
Mari kita lihat fenomena umat Islam hari ini sebagai bahan
renungan kita bersama, khususnya di negeri kita sendiri, Indonesia. Hari ini
kita melihat bagaimana ghiroh umat Islam di Indonesia untuk menegakan
kalimatul iman, kalimah tauhid, laa ilaha ilallah, telah berkembang dan
meningkat secara pesat, terakhir dapat kita saksikan pada peristiwa Reuni 212
beberapa waktu lalu. Alhamdulillah, tentu saja ini merupakan hal yang sangat
menggembirakan kita semua selaku umat Islam. Kalimatul iman secara perlahan
telah menjadi simbol terbentuknya ukhuwah diantara umat Islam di Indonesia.
Meskipun demikian, setelah itu semua, perlulah kita melakukan
muhasabah diri, mengukur diri kita sendiri, benarkah kita telah masuk dalam
golongan orang yang beriman? Mari kita menilik ke dalam hati kita sendiri, apa
kalimah tauhid tersebut sudah ada dalam hati kita. Seberapa banyak hati kita
dzikir (ingat) kepada Allah SWT? Atau jangan-jangan ketika kita merasa telah
menjadi orang yang beriman dengan membela simbol-simbol tauhid, ternyata hati
kita lupa kepada Allah SWT, dengan menyatakan bahwa inilah saya orang yang
benar, orang yang beriman, yang tidak sejalan dengan saya adalah orang yang
salah, orang yang sesat, atau ketika kita membela simbol-simbol tauhid ternyata
niat kita bukan lillahita’ala, akan tetapi niat-niat lain, yang kita ingat
justru hal yang bersifat duniawi. Fokus kita kemudian tidak lagi kepada Allah
SWT, tetapi kepada hal remeh temeh duniawi seperti Pilpres, gerakan menegakan
khilafah, perdebatan besar kecilnya jumlah massa, dan lain-lain, lalu merasa
itu semua adalah karena hasil upaya kita, naudzubillah...kita semua lupa bahwa
tidak sehelai pun daun yang jatuh ke bumi tanpa seijin Allah SWT, bahwa
hakikatnya kita tidak memiliki daya dan upaya.
Semua hal di atas hanya mungkin kita dapati jawabannya dengan
melakukan muhasabah diri. Jangan sampai apa yang telah kita kerjakan,
dikarenakan hati yang lupa kepada Allah SWT, niat yang tidak lurus, niat yang
tidak ikhlas semata-mata karena Allah SWT, justru menjerumuskan kita masuk
kepada sikap sombong bahkan munafik. Jika kita temukan bahwa diri kita
menyimpang, diri kita ternyata belum sepenuhnya menjadi orang yang beriman,
maka sudah sepatutnya lah kita perbaiki, akan tetapi jika kita temukan diri
kita telah berada pada jalur yang benar, hati yang dzikir (ingat) kepada Allah
SWT, niat yang lurus, maka sepatutnya kita perkuat iman tersebut dengan
meningkatkan amal ibadah kita.
Tolak ukur niat yang lurus atau tidak selain melihat ke dalam
diri kita sendiri, juga dapat kita lihat dari sikap kita yang dihasilkan dari
niat tersebut. Sebagai contoh, kembali kepada masalah bangkitnya ghirah
umat Islam Indonesia, apakah dengan semakin kuatnya pembelaan kita terhadap
kalimah tauhid membuat kita menjadi bersikap lebih beradab dan mengedepankan
akhlak? Mari kita lihat, masih banyak dari kita yang semangat membela kalimah
tauhid, pada saat bersamaan masih sering terlibat perdebatan di ruang-ruang
publik yang lebih banyak mudhorotnya daripada manfaatnya, yang kemudian
meninggalkan ahklak dan adab. Kemudian, kita juga bisa menyaksikan secara
jelas, hampir setiap hari, setiap jam, di lini media sosial, kita yang mengaku
membela kalimah tauhid masih terjebak dalam sikap saling menjelekan satu sama
lain, bukan karena Allah SWT, tapi karena perbedaan pilihan politik, karena
kebodohan dan matinya akal sehat kita. Kita yang merasa membela kalimah tauhid,
begitu mudahnya menyebarkan sentimen-sentimen kebencian, lagi-lagi karena niat
yang tidak lurus dan matinya akal sehat.
Masih maraknya fenomena ini, menuntut kita untuk melakukan
muhasabah diri, menilai diri kita sendiri dan berhenti sejenak menilai orang
lain. Jangan sampai dengan perasaan sombong kita karena merasa benar, kita
kemudian terus menilai orang lain dan menyatakan orang lain salah serta buruk
dan lupa menilai diri sendiri. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam
menyatakan:
“Kedua kaki seorang hamba
tidak akan bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara:
tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya, tentang masa mudanya, digunakan untuk
apa, tentang hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dihabiskan, dan tentang
ilmunya, apa yang dilakukan dengan ilmunya itu.” (HR. Tirmidzi).
Semua yang kita perbuat, baik
perbuatan hati maupun perbuatan jasad kita, semua akan dimintai pertanggung
jawaban kelak. Oleh karena itu, seringlah melakukan muhasabah diri, tidak hanya
dalam momentum pergantian tahun ini, akan tetapi sesering mungkin, agar kita
mampu terus mengukur kadar keimanan kita masing-masing, agar kita terhindar
dari niat yang tidak lurus yang menyebabkan akal kita menjadi tidak sehat,
menyebabkan kita terjerumus dalam golongan orang-orang yang munafik.
Sebagai penutup, mari kita
sama-sama renungi dan kembali menilai diri kita sendiri, menghitung diri kita
sendiri, sebelum kita dihisab di akhirat kelak. Mari kita jaga hati kita untuk
selalu dzikir (ingat) kepada Allah SWT, sehingga segala apa yang kita niatkan
itu semata-mata karena Allah SWT, bukan karena hal-hal duniawi yang dibungkus
dengan simbol-simbol agama, sehingga akal kita tetap sehat sehingga mampu
menempatkan adab dan akhlak dalam setiap hubungan kita dengan sesama manusia.
*Penulis merupakan ketua sekaligus pendiri An Najmus Tsaqib
Comments
Post a Comment