Setiap manusia menginginkan
tercapainya keadilan dalam kehidupannya. Keadilan menjadi salah satu nilai yang
dikejar dalam kehidupan manusia. Adil merupakan salah satu sifat
Alloh SWT, yaitu Al ‘Adl atau Yang Maha Adil. Oleh karena itu, nilai keadilan
sangat dijunjung tinggi di dalam Islam. Hal ini salah satunya dapat dilihat
dari firman Alloh SWT berikut:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)
Ayat tersebut sangat tegas dan jelas memerintahkan manusia
untuk berlaku adil kepada sesama manusia. Bersikap adil dalam ayat tersebut
disandingkan dengan larangan untuk melakukan perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan, yang dapat dimaknai bahwa bersikap adil secara bersamaan harus
dijalankan dengan menjauhi apa yang dilarang oleh Alloh SWT, yaitu melakukan
perbuatan keji dan kemungkaran (menurut hukum syariat) dan menghindari
terjadinya sikap permusuhan.
Bersikap adil dalam Islam sangat berkaitan dengan hak dan
kewajiban. Keadilan tidak akan pernah bisa terwujud jika hak dan kewajiban
tidak terpenuhi dengan seimbang. Sebagai contoh, ketika kita menuntut upah
kerja (hak) dibayarkan, akan tetapi ada pekerjaan kita yang belum kita
selesaikan dalam kaitannya dengan upah tersebut (kewajiban), itu berarti kita
tidak bersikap adil. Begitu pun sebaliknya, ketika kita melaksanakan kewajiban
kita sedangkan hak kita tidak dipenuhi oleh pihak lain, maka pihak lain
tersebut telah bersikap tidak adil. Dalam Al Qur’an, Alloh SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ
أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ
النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An Nisa: 58)
Dalam ayat tersebut, secara sederhana Alloh SWT menetapkan
fondasi tentang apa itu bersikap adil, yaitu menyampaikan amanat kepada yang
berhak (kewajiban) dan menerima amanat (hak). Fondasi ini kemudian menjadi
dasar untuk menetapkan sebuah hukum yang adil dalam kehidupan manusia. Oleh
karena itu, jika kita berharap tegaknya keadilan dalam kehidupan kita, maka
pemenuhan hak dan kewajiban ini harus benar-benar kita pahami dan jalankan.
Begitu pun dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara, jika berharap keadilan tegak di negeri ini,
maka wajib bagi kita untuk memahami dan menjalankan apa yang menjadi hak dan
kewajiban kita dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks
ini, ada hak dan kewajiban kita sebagai rakyat yang harus dipenuhi, sedangkan
di sisi lain, ada hak dan kewajiban pemimpin yang merepresentasikan pemerintah
yang juga harus dipenuhi.
Jangan sampai kita menuntut
tegaknya keadilan, terpenuhinya hak-hak kita sebagai rakyat, tetapi kita lupa
dan tidak menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita sebagai rakyat terhadap
pemimpin. Dalam hal ini, kita akan melihat bagaimana Islam benar-benar menjadi
sebuah rahmatan lil alamin, karena Islam pun telah memberikan fondasi terkait
hak dan kewajiban diantara rakyat dan pemimpin, sehingga keadilan dalam suatu
negeri dapat tercipta.
Hubungan Hak dan Kewajiban Antara Rakyat dan Pemimpin Dalam
Islam
Selain adanya hukum negara yang mengatur
hak dan kewajiban seorang warga negara, sebagai umat Islam, kita juga perlu
memahami apa saja yang menjadi hak dan kewajiban kita sebagai warga negara
(rakyat) sesuai dengan hukum Islam. Secara umum, mengacu kepada Kitab Al
Siyassah al Syar’iyyat karya Syekh Ibn Taimiyyah, hak seorang warga negara
dalam perspektif Islam ada 2 yaitu hak politik dan hak umum.
Hak politik warga negara menurut
perspektif Islam diantaranya adalah hak memilih (haqq al intikhab), hak
untuk diajak bermusyawarah (haqq al musyawarah), hak untuk mengawasi
pemerintah (haqq al murabat), hak untuk mencalonkan orang lain sebagai
pemimpin (haqq al tarsyih), dan hak untuk dipilih sebagai pemegang
amanah/jabatan (haqq tawalliy al wazha if al ‘ammat). Setiap hak-hak
politik warga negara tersebut haruslah terpenuhi jika ingin sebuah keadilan
tegak dalam suatu negeri.
Hak-hak politik dalam Islam
tersebut, jika dicermati lebih lanjut, merupakan dasar-dasar dalam sistem
politik demokrasi. Sebelum konsep demokrasi tumbuh dan berkembang di dunia
barat, Islam telah terlebih dahulu meletakan dasar-dasar sistem politik
demokrasi. Dasar-dasar tersebut diantara memilih dan dipilih, adanya mekanisme
kontrol terhadap pemerintahan, dan adanya prinsip musyawarah. Oleh karena itu,
kurang tepat jika menyatakan demokrasi sebagai sebuah produk barat yang
bertentangan dengan Islam, karena sejatinya demokrasi lahir dari nilai-nilai
Islam dan telah berjalan sejak masa kepemimpinan para sahabat, jauh sebelum
demokrasi lahir di dunia barat.
Selain hak politik, Islam juga
mengakui adanya hak-hak umum warga negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah.
Jenis hak-hak umum tersebut yaitu hak persamaan atau mendapat perlakuan yang
sama (al musawat), hak kebebasan (al hurriyat), dan hak untuk
mendapat tanggungan (al kafalat) dari negara. Hak mendapat tanggungan
tersebut dapat dikembangkan lagi menjadi hak ekonomi dan sosial. Hak sosial
misalnya hak mendapatkan pendidikan, hak memperoleh dan menggunakan fasilitas
umum, dan hak mendapatkan jaminan kesehatan. Sama halnya dengan hak politik,
hak umum ini pun haruslah terpenuhi dalam suatu negara.
Keadilan bagi rakyat berarti
terpenuhinya hak-hak di atas dan berjalannnya kewajiban warga negara terhadap
pemerintah yang direpresentasikan oleh pemimpin. Hak-hak di atas, dalam posisi
pihak yang berbeda, yaitu pemimpin, akan berubah menjadi kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pemimpin terhadap rakyatnya.
Sebaliknya, tidak akan dapat
terpenuhi hak-hak di atas tanpa dijalankannya kewajiban rakyat terhadap
pemimpinnya. Dalam Islam, rakyat yang dipimpin memiliki beberapa kewajiban
terhadap pemimpinnya tanpa terkecuali. Kewajiban tersebut adalah sebagai
berikut:
Pertama, rakyat wajib mentaati
pemimpinnya baik secara dzahir maupun batin, taat terhadap segala yang
diperintahkan dan dilarang (diatur dalam aturan hukum dan perundang-undangan),
kecuali dalam hal maksiat. Kewajiban ini seperti apa yang Alloh SWT
perintahkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa: 59)
Kedua, rakyat wajib memberikan nasehat kepada pemimpin dengan
adab yang baik, dan menggunakan kata yang lemah-lembut. Adab yang baik adalah
salah satu hal yang paling diutamakan dalam Islam, bahkan kepada seorang
Fir’aun sekali pun, Alloh SWT tetap memerintahkan Nabi Musa alaihi wassalam
untuk menasehati menggunakan kata yang lemah lembut.
Dalam konteks kehidupan bernegara kita hari ini, mengkritik,
memberi masukan, atau mengingatkan pemimpin sangat dimungkinkan dengan adanya
para wakil rakyat kita yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan sistem
perwakilan, dimana lembaga perwakilan berfungsi sebagai kontrol terhadap pemerintah,
maka seharusnya tidak perlu ada berbagai aksi demonstrasi di jalanan yang
cenderung berujung kepada kekerasan dan kekacauan. Para wakil rakyat ini lah
yang seharusnya bertanggung jawab menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi
rakyat kepada pemerintah.
Ketiga, mendukung dan membantu pemimpin. Dalam hal ini,
rakyat berkewajiban untuk jihad bersama
mereka, shalat di belakang mereka (karena pemimpin zaman dahulu adalah juga
imam shalat), menunaikan sedekah (zakat mal) kepada mereka ketika diminta (dapat
juga dimaknai sebagai pajak dalam konteks sistem pemerintah hari ini), juga
berhaji bersama mereka. Baik pemimpin yang shalih, ataupun pemimpin yang fajir,
selama belum sampai derajat kekafiran.
Keempat, tidak mengumbar, membeberkan,
dan membongkar aib atau kejelekan mereka di khalayak umum. Sikap ini seperti
yang diamalkan oleh sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ketika
banyak orang membicarakan kepemimpinan sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu. Diriwayatkan dalam sebuah hadits ada seseorang yang bertanya kepada
Usamah radhiyallahu ‘anhu: “Tidakkah Engkau menemui ‘Utsman ra. dan
menasehatinya?” Kemudian Usamah radhiyallahu ‘anhu menjawab:
أَتَرَوْنَ
أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟ وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا
بَيْنِي وَبَيْنَهُ، مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ
أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ
Artinya: “Apakah
kalian anggap aku tidak menasihatinya karena kalian tidak mendengar
pembicaraanku kepadanya? Demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya
empat mata, tanpa menampakkannya. Aku tidak mau menjadi orang yang
pertama kali membuka (pintu fitnah).” (HR. Muslim no. 2989)
Kewajiban
rakyat terhadap pemimpinnya, dalam posisi pemimpin, menjadi hak yang diterima
oleh pemimpin dari rakyatnya. Dari keseimbangan antara pemenuhan hak dan
kewajiban, baik yang dilakukan oleh rakyat maupun oleh pemimpin, maka
terciptalah keadilan. Keadilan yang seringkali dituntut oleh kelompok-kelompok
masyarakat tertentu, tidak akan terwujud jika keseimbangan antara hak dan
kewajiban rakyat dan pemimpinnya tidak tercipta.
Dahulukan
Kewajiban Sebelum Menuntut Hak
Di dalam Al Qur’an Alloh SWT berfirman:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Artinya: “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39)
Dari
ayat tersebut, Alloh SWT memberi isyarat bahwa kita tidak akan pernah
mendapatkan sesuatu selain apa yang telah kita upayakan. Mendapatkan sesuatu
adalah hak kita setelah kita menjalankan upaya (kewajiban). Tidak akan ada
pemenuhan hak tanpa adanya pelaksanaan kewajiban terlebih dahulu.
Oleh
karena itu, dalam posisi kita sebagai rakyat, jika kita ingin hak-hak kita
sebagai rakayat dipenuhi oleh pemimpin kita, maka jalankanlah kewajiban kita
kepada pemimpin terlebih dahulu. Begitu pun sebaliknya, jika pemimpin ingin
mendapatkan haknya sebagai seorang pemimpin dari rakyatnya, maka pemimpin harus
menjalankan terlebih dahulu kewajibannya terhadap rakyatnya.
Dengan
kata lain, baik rakyat maupun pemimpin harus terlebih dahulu melaksanakan
kewajibannya. Dengan terlaksannya kewajiban masing-masing, maka sama saja
dengan terpenuhinya hak masing-masing pihak. Dengan demikian, terciptalah
keadilan, bagi rakyat maupun bagi pemimpin.
Saat
ini, kita memasuki tahap baru kepemimpinan nasional, yang berarti peluang baru
bagi kita semua untuk sama-sama mewujudkan keadilan dan kemaslahatan bersama. Salah
satu langkah awal yang bisa dilakukan adalah melaksanakan kewajiban masing-masing.
Rakyat wajib mendukung dan taat kepada pemimpinnya, di sisi lain pemimpin wajib
memenuhi hak-hak rakyatnya. Jika hak dan kewajiban antara rakyat dan pemimpin
bisa terpenuhi dengan baik, insyaAlloh keadilan dan kesejahteraan di negeri ini
bisa terwujud.
Wallohu
‘alam bis showab.
Comments
Post a Comment