Poligami adalah istilah dalam ilmu antropologi sosial yang menunjukan hubungan perkawinan dimana satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Dalam Islam, konsep poligami hanya terbatas pada poligini, yaitu seorang suami yang memiliki 2 orang istri atau lebih.
Bagi umat muslim, khususnya di Indonesia, istilah poligami ini merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi. Poligami secara praktik, sudah ada sebelum Islam muncul. bisa dikatakan bahwa hampir semua pusat peradaban manusia (terutama yang maju dan berusia panjang), telah mengenal poligami dan mengakuinya sebagai sesuatu yang normal dan formal. Para ahli sejarah mendapatkan bahwa hanya peradaban yang tidak terlalu maju saja dan tidak berusia panjang yang tidak mengenal poligami.
Peradaban maju seperti Ibrani yang melahirkan bangsa Yahudi mengenal poligami. Begitu juga dengan peradaban Shaqalibah yang melahirkan bangsa Rusia. Termasuk juga negeri Lituania, Ustunia, Chekoslowakia dan Yugoslavia, semuanya sangat mengenal poligami.
Masih ditambah lagi dengan bangsa Jerman, Swis, Saksonia, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan tidak terkecuali, Inggris.
Jadi pendapat bahwa poligami itu hanya produk hukum Islam adalah tidak benar. Islam hadir untuk menyempurnakan apa yang sudah ada, termasuk dalam perkara poligami. Islam mengatur dengan jelas dan tegas bagaimana praktik poligami tersebut harus dilakukan.
Dasar diperbolehkannya poligami dalam Islam terdapat pada firman Alloh SWT berikut:
Dasar diperbolehkannya poligami dalam Islam terdapat pada firman Alloh SWT berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (QS. An-Nisa: 3)
Jika dilihat dari konteks dimana ayat tersebut diturunkan, maka dapat dilihat bahwa ayat tersebut merespon praktik poligami yang terjadi di bangsa Arab saat itu. Para lelaki Arab saat itu gemar menikah dengan anak perempuan yatim yang diasuhnya dengan tujuan agar ia bisa ikut makan hartanya dan tidak perlu membayar maskawin. Hal ini merupakan praktik yang dholim dan tidak adil dari sisi wanita yang juga merupakan anak yatim.
Mengacu kepada kondisi tersebut, maka ketentuan pada ayat di atas dapat dimaknai bahwa Alloh SWT menawarkan alternatif bagi lelaki yang menjadi wali yang khawatir
tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim agar melakukan poligami dengan cara menikahi
perempuan selain anak yatim yang masih dalam perwaliannya tersebut. Ini dimaksudkan untuk
menghindari kezaliman berupa penguasaan harta milik sang anak yatim oleh walinya. Dalam hal
ini, perintah poligami bukan semata berbicara tentang pemenuhan nafsu seksual, melainkan lebih
kepada jalan untuk menegakkan keadilan bagi anak yatim.
Mengenai asbab an-nuzul surat An-Nisa’ ayat 3, Muhammad Ali Ash-Shabuni menyitir
sebuah hadis yang berisi dialog antara Urwah bin Zubair dengan Aisyah RA. Urwah bertanya
tentang firman Alloh SWT dalam QS. An-Nisa’ ayat 3 tersebut. Aisyah menjawab, “Wahai anak saudaraku,
si yatim ini berada di bawah perwaliannya dan harta miliknya tercampur menjadi satu. Wali itu
tertarik pada harta dan kecantikan wajah si yatim, lalu bermaksud mengawininya. Akan tetapi,
cara pemberian mahar yang ditempuhnya tidak adil, sebab ia tidak memberikan maskawin kepada
si yatim sebagaimana yang ia berikan kepada wanita lain. Padahal, dia terbiasa membayarkan
mahar dengan harga yang mahal. Karena itulah, ia (wali) diperintahkan untuk menikahi perempuan
selain si anak yatim" (Rawai’ Al-Bayan fi Tafsir Ayat Al-Ahkam: 420).
Meskipun di dalam Islam praktik poligami diperbolehkan, akan tetapi kebolehan ini sifatnya dipersulit dan diperketat. Sifat tersebut muncul untuk menyempurnakan praktik poligami yang sudah berjalan sebelum datangnya Islam, serta praktik poligami yang akan berjalan dimasa yang akan datang.
Dalam pandangan Al-Maraghi, kebolehan berpoligami dalam QS. An-Nisa ayat 3 ialah
kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Poligami hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat,
yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sungguh-sungguh membutuhkan. Jika poligami
dirasa akan memunculkan akibat buruk, maka lebih baik dihindari, sebagaimana diatur dalam
kaidah fiqh: dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih (menolak kemafsadatan lebih
didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan) (Tafsir Al-Maraghi: 181).
Jika dilihat lebih dalam, maka dalam Islam poligami adalah keadilan. Syarat utama diperbolehkannya poligami adalah adil atau mampu bersikap adil. Jika tidak mampu berbuat adil maka tidak diperbolehkan melakukan poligami. Prinsip keadilan inilah yang dijadikan standar praktik poligami dalam Islam jika merujuk kepada QS. An-Nisa ayat 3.
Prinsip keadilan juga ditekankan oleh Muhammad Abduh ketika dulu mengeluarkan
fatwa tentang poligami. Sebagaimana dikutip oleh Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam kitabnya, Hikmah
At-Tasyri’ wa Falsafatuhu, fatwa yang dikemukakan Abduh pada tahun 1298 H itu berisi pernyataan
bahwa syariat Islam yang dibawa Rasulullah memang membolehkan laki-laki mengawini empat
perempuan sekaligus, jika ia mampu menakar dan mengetahui kemampuan dirinya untuk berbuat
adil. Jika tidak mampu, maka tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu (Hikmah At-Tasyri’ wa Falsafatuhu: 12).
DIMENSI KEADILAN DALAM PRAKTIK POLIGAMI
Keadilan adalah suatu kondisi dimana hak dan kewajiban seseorang berjalan dan terpenuhi dengan baik. Alloh SWT melalui al Qur'an seringkali memerintahkan umat Islam untuk berusaha bersikap adil, termasuk dalam konteks praktik poligami.
Lalu keadilan seperti apakah yang dimaksud dan diharapkan?
Dalam menjawab pertanyaan penting bagi kita untuk memahami ayat al Qur'an yang menyatakan tentang sikap adil dalam praktik poligami. Dalil pertama adalah QS. An Nisa ayat 3 di atas.
Dalam QS. An Nisa ayat 3 di atas terdapat 2 kondisi yang merujuk 2 sikap adil yang berbeda konteks. Kondisi pertama adalah sikap adil terhadap hak-hak wanita (anak yatim). Dalam dalil pertama ini, sikap adil berkaitan dengan konteks praktik poligami bangsa Arab sebelum ayat tersebut turun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sikap adil yang dimaksud pada kondisi pertama ini adalah sikap untuk tidak berbuat dholim terhadap wanita yang merupakan anak yatim. Perbuatan dholim yang dimaksud adalah keinginan untuk menguasai harta anak yatim melalui proses perkawinan. Untuk menghindari tersebut, maka Alloh SWT memerintahkan untuk mengawini wanita lain (bukan anak yatim). Dalam hal ini ini, sikap adil bermakna kuantitatif, yaitu terkait dengan pemenuhan hak secara fisik atau materi, seperti harta, tempat tinggal, dan lain-lain.Kondisi kedua adalah sikap adil terhadap wanita yang bukan merupakan anak yatim. Jika merujuk kepada konteks waktu ketika QS. An Nisa ayat 3 ini turun, maka kita bisa memahami bagaimana sikap adil yang dimaksud dalam dalil kedua ini. QS. An Nisa ayat 3 turun paska terjadinya perang Uhud, dimana banyak para pejuang Islam yang syahid di medan pertempuran. Kondisi ini menyebabkan banyaknya janda dan anak yatim saat itu. Oleh karena itu frasa "wanita lain" dalam QS. ayat 3 merujuk kepada janda yang jumlahnya bertambah akibat perang Uhud saat itu.
Bersikap adil kepada para janda melalui proses poligami juga bermakna kuantitatif. Menikahi para janda dalam konteks poligami adalah dalam rangka mengangkat derajat mereka, melindungi mereka, serta menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup mereka.
Dari kedua kondisi yang berbeda dalam QS. An Nisa ayat 3 di atas dapat kita pahami bahwa sikap adil berarti adil dalam perkara muamalah. Seseorang yang berpoligami harus mampu berbuat adil kepada para istrinya dalam perkara muamalah ini. Tidak boleh ada kecenderungan terhadap salah satu istri saja dalam perkara muamalah ini. Jika sesorang merasa tidak mampu berbuat adil dalam perkara muamalah kepada para istrinya, maka Alloh SWT dalam QS. An Nisa ayat 3 memerintahkan kita agar hanya mengawini satu wanita saja (tidak berpoligami) atau mengawini budak dalam rangka membebaskan budak tersebut.
Bersikap adil dalam perkara muamalah, mungkin bagi mereka yang mampu secara materi terlihat mudah, akan tetapi perkara ini menjadi sulit ketika kita terjebak dalam makna adil secara kualitatif. Adil secara kualitatif bersifat lebih abstrak dan tidak dapat diukur dengan perhitungan matematis maupun angka. Adil dalam pengertian kualitatif ini adalah perkara hati, seperti rasa cinta dan kasih sayang.
Sangat sulit bagi seseorang untuk bisa membagi kepada para istrinya secara adil rasa cinta dan kasih sayangnya. Alloh SWT dalam al Qur'an menyatakan:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. An Nisa: 129).
Dalam ayat tersebut frasa "berlaku adil" memiliki makna kualitatif yaitu adil dalam hal kecenderungan hati. Alloh SWT menyatakan dengan tegas bahwa seorang pria yang memiliki istri lebih dari satu tidak akan dapat berbuat adil terkait dengan perkara hati ini, meskipun pria tersebut menginginkannya.
Rasa cinta dan kasih sayang, meskipun dapat dibagi, akan tetapi perasaan tersebut tidak akan dapat dibagi secara rata. Itu adalah fitrah manusia, itulah fitrahnya hati (qalb) yang tidak boleh terbagi, tidak boleh diisi selain oleh Yang Maha Esa, Alloh SWT.
Keadilan secara kualitatif dalam konteks poligami tidak akan dapat dicapai oleh manusia, akan tetapi bersikap adil dalam perkara muamalah bisa dilakukan oleh manusia. Dengan demikian bersikap adil dalam perkara poligami adalah bersikap adil dalam perkara muamalah. Meskipun demikian, seseorang yang berpoligami tetap harus memperhatikan sikap adil dalam perkara hati, karena seperti yang dijelaskan pada QS. An Nisa ayat 129 di atas, bahwa salah satu sebab utama seorang suami tidak dapat berlaku adil terhadap para istrinya karena kecenderungan hatinya, kecenderungan rasa cinta dan sayangnya kepada salah satu istrinya.
Alloh SWT telah memperingatkan dalam ayat di atas bahwa jangan sampai kecenderungan rasa cinta dan sayang kepada salah satu istri menyebabkan seorang suami tidak memenuhi hak-hak istri lainnya secara adil. Jangan sampai kecenderungan hati membuat seorang suami bersikap dholim sehingga membuat para istrinya terkatung-katung atau tidak terpenuhi haknya secara penuh.
Keadilan inilah yang membuat praktik poligami dalam Islam sesungguhnya berat, dan jika kita jujur kepada diri masing-masing, sangat jarang dari diri kita (para laki-laki) yang mampu melaksanakannya dengan baik. Ketika prinsip keadilan ini tercederai, maka kita telah berbuat dholim.
Tidak jarang kita mendengar bagaimana akhirnya praktik poligami berujung kepada hancurnya rumah tangga dan tercederainya perasaan seorang istri karena sikap tidak adil suaminya. Pada sisi lain, praktik monogami (beristri satu) pun saat ini tidak jarang yang berakhir dengan perceraian, bahkan dalam usia perkawinan yang relatif masih baru.
Oleh karena itu, kegagalan dalam praktik poligami tidak serta merta membuat kita menyalahkan dan melarang konsep poligami tersebut, karena sesungguhnya bukanlah konsep poligami yang salah, akan tetapi mereka yang berpoligamilah yang salah. Kesalahan muncul ketika sikap adil tidak terwujud, dan sikap adil tidak terwujud karena ketidakmampuan seseorang mengontrol kecenderungan hatinya pada tataran perilaku dan sikap.
Islam telah menunjukan keluasan pandangan dan pengaturannya dalam perkara poligami ini. Jika melihat kepada dali-dalil dalam al Qur'an di atas, maka sesungguhnya poligami tidaklah dianjurkan, tetapi tidak juga dilarang. Tidak dianjurkan karena Alloh SWT mengetahui sesungguhnya sangat jarang orang yang mampu mengontrol kecenderungan hatinya hingga mampu bersikap adil dalam perkara muamalah. Tidak dilarang karena Alloh SWT pun mengetahui bahwa ada hambaNya yang mampu untuk melaksanakannya dengan niat yang baik dan lurus.
Melaksanakan poligami bukanlah perkara yang mudah, janganlah menjadikan poligami sebagai alasan untuk menghalalkan nafsu dan syahwat, karena hakikatnya bukan untuk itu Alloh SWT memperbolehkan praktik poligami. Jika berpoligami ternyata lebih banyak menimbulkan mudharat, maka tinggalkanlah. Sebaliknya, jika berpoligami memberikan lebih banyak manfaat, maka lakukanlah.
Jangan bermain layang-layang jika takut jarimu terluka dan layang-layangmu putus hilang terbawa angin.
Wallohu'alam bis showab.
Comments
Post a Comment