MENGUJI SANGKAAN DAN PERSEPSI (Sebuah Tanggapan Terhadap Tulisan Estiana Arifin Yang Berjudul “Uji Coba”)
Pada tanggal 12 Desember 2016,
Estiana Arifin, seorang sahabat facebook saya menulis sebuah postingan singkat
yang berjudul “Uji Coba”. Pada intinya tulisan sahabat saya tersebut adalah
tentang bagaimana kita mengukur pandangan, motivasi atau niat seseorang
terhadap kita. Secara prinsip saya sepakat terhadap metode-metode pengujian
yang dipaparkan ringkas oleh kawan saya tersebut, akan tetapi penyimpulan
akhirnya saya pikir kurang tepat, yang menyatakan bahwa metode yang
disampaikannya tersebut tidak pernah disampaikan dalam kitab-kitab jaman dulu
tanpa ada keterangan lebih lanjut apa itu “kitab-kitab jaman dulu”.
Dalam pandangan saya yang faqir
ini, tidak mungkin hal-hal tersebut tidak pernah ada dalam Qur’an dan Hadist,
karena saya meyakini bahwa Qur’an dan Hadist merupakan salah satu petunjuk dan
pedoman hidup dunia-akhirat yang berlaku universal (tidak terbatas
ruang-waktu). Setelah setengah jam melihat kepada rujukan yang ada, akhirnya
saya menulis tanggapan sebagai berikut:
Bismillahirohmanirrohim...
“Maka janganlah engkau menilai
dirimu lebih suci (dibanding orang lain). Dia (Alloh) lebih tahu siapa
orang-orang yang bertakwa.” (QS.
an-Najm: 32)
Mengukur sejauh mana tanggapan,
pandangan, motivasi, dan niat seseorang kepada kita secara umum tidak dapat
hanya kita ketahui dari pengamatan sekilas maupun dari anggapan sementara tanpa
adanya verifikasi lebih lanjut. Dalam hal ini, tanggapan, pandangan, motivasi,
dan niat seseorang seluruhnya berada dalam diri orang tersebut, yang berada di
alam pikiran dan qolbu (hati) orang tersebut, sehingga kondisi sebenarnya pun
hanya orang tersebut dan Alloh yang mengetahui. Dalam hal ini Alloh berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain...” (QS. Al Hujarat: 12)
Oleh karena itu, untuk mengumpulkan
pengetahuan tentang orang tersebut, seperti yang dinyatakan oleh Estiana
Arifin, dalam rangka menghindari fitnah dan berburuk sangka terhadap orang
lain, merupakan hal yang penting dalam konteks hubungan sosial. Alloh
memperingatkan kita:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra: 36).
Lantas bagaimana caranya mengetahui
sesuatu yang ada dalam alam pikiran dan qolbu orang lain???
Estiana Arifin memaparkan beberapa
metode seperti yang kita baca bersama, yaitu:
1.
Melihat
kepada diri sendiri, mempertajam insting dan intuisi, sama dengan menghidupkan
bashiroh. Firman Alloh: "Bahkan manusia itu mampu melihat diri sendiri,
meskipun dia masih mengemukakan alasan-alasannya" (Q., s. al-Qiyamah: 14-15).
Sebagian mufasir, antara lain al-Farra', Ibn
'Abbas, Muqatil dan Sa'id ibn Jabir menafsirkan bashirah pada ayat ini sebagai
mata batin, seperti yang dikutip oleh al-Maraghi, dan Fakhr al-Razi
menafsirkan dengan akal sehat. Menurut Ibn Qayyim al-Jawzi, bashirah
adalah cahaya yang ditiupkan Allah ke dalam Qalb, oleh karena itu ia mampu
memandang hakikat kebenaran seperti pandangan mata.
Jika dihubungkan dengan diri kita sebagai
manusia, maka mempunyai empat arti, yaitu (a) ketajaman hati, (b)
kecerdasan, (c) kemantapan dalam agama, dan (d) keyakinan hati dalam hal agama
dan realita. Meskipun juga mengandung arti melihat, tetapi jarang sekali kalimat
tersebut digunakan dalam literatur Arab untuk indra penglihatan tanpa disertai
pandangan hati.
Bashiroh dalam Islam biasanya dihidupkan
melalui metode dzikir, yang mengosongkan pikiran dan hati dari segala sesuatu
selain Alloh, “diam dalam gerak”. Dalam beberapa perspektif keyakinan di luar
Islam ada yang serupa tapi tak sama, seperti meditasi atau seperti yang Estiana
Arifin paparkan tadi.
Metode ini sudah ada sejak dulu, metode yang
mengkoneksikan kesadaran ruhani dan jasmani kita, menghubungkan dimensi spiritual
dan realitas di alam dunia. Secara syar’i metode ini sudah dinyatakan dalam al
Qur’an, sedangkan secara praktek telah secara luas dipublikasikan dalam
kitab-kitab tasawuf (seluruh kitab jaman dulu);
2.
Menempatkan diri kita dihadapan orang
tersebut untuk menguji apa sebenarnya yang akan dia lakukan kepada kita.
Dalam sebuah Hadist Riwayat Muslim, Abu Hurairah Rhadhiyallahu ‘Anhu
menuturkan:
Suatu ketika
Abu Jahal berkata, “Benarkah Muhammad pernah bersujud di hadapan
kalian?” seseorang menjawab, “Ya, benar!” Maka, Abu Jahal berkata “Demi Latta
dan Uzza, andaikata aku melihat Muhammad melakukan hal tersebut, niscaya aku
akan memenggal lehernya atau aku akan membenamkan wajahnya ke tanah.” Tak lama kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi Wa Sallam datang dan shalat di depan Kakbah.
Maka orang-orang Quraisy mengira Abu Jahal akan memenggal leher Muhammad. Akan
tetapi, betapa terkejutnya mereka ketika melihat Abu Jahal justru melangkah
mundur dengan tubuh gemetar. Melihat hal itu, beberapa orang Qusaisy pun
bertanya kepadanya, “Apa yang tejadi denganmu dan mengapa kamu tidak jadi
melaksanakan sumpahmu?” Abu Jahal menjawab, “Entahlah, tapi aku merasa
seolah-olah diantara diriku terdapat lubang api hingga aku merasa takut dan
gemetar.” Maka Rasulullah pun
bersabda, “Seandainya waktu itu ia mendekatiku, niscaya malaikat akan
melepaskan bagian tubuhnya satu persatu.”
Dalam riwayat
tersebut, niat dan keinginan Abu Jahal terhadap Rasulullah yang telah
dinyatakan secara lahir dan batin, dapat diukur atau diketahui ketika
Rasulullah menuruti apa yang diancamkan oleh Abu Jahal, yaitu bersujud (sholat)
dihadapan kaum Quraisy, yang ternyata pernyataan lahir dan batin Abu Jahal
tersebut tidak sekuat atau tidak konsisten dengan kenyataannya, dimana dia
hanya diam dan tidak memenggal kepala Rasulullah ketika Rasulullah bersujud
(sholat) di depan Mekkah yang disaksikan oleh Abu Jahal dan kaum Quraisy
lainnya.
Metode ini
ternyata telah ada sejak dulu kala, dan diriwayatkan dalam sebuah Kitab Hadist
Riwayat Muslim (Kitab Jadul);
3.
Meninggalkan orang yang memberikan
mudharat (keburukan) bagi kita.
Alloh berfirman dalam al Qur’an:
“dan hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Alloh kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Alloh), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Alloh menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah:
49).
Berdasarkan ayat
tersebut, kita diminta untuk tidak mengikuti hawa nafsu “mereka”, berhati-hati
kepada “mereka”. Siapa yang dimaksud dengan “mereka” dalam ayat ini???
Dalam surat dan
ayat lainnya, kata “mereka” ini merujuk kepada orang-orang yang zalim (membawa
keburukan baik bagi diri sendiri maupun orang lain), orang-orang fasik
(mendustai dan mengingkari Alloh), orang-orang bodoh (orang yang mengetahui
tapi tidak tahu), orang-orang yang berdosa.
Jadi sudah sejak
dulu kala, di dalam al Qur’an (salah satu kitab jadul), kita sudah
diperintahkan untuk tidak mengikuti orang yang membawa keburukan pada kita yang
lebih mementingkan egonya (hawa nafsunya). Kita juga diminta untuk berhati-hati
kepada mereka (sebuah bentuk batasan dalam hubungan sosial, khususnya
toleransi).
Jadi kesimpulannya, metode yang disampaikan oleh Estiana Arifin di
atas, sebenarnya sudah sejak dulu kala ada dan dipraktekkan oleh kaum muslim.
Bahkan jauh sebelum teori psikologi lahir. Jadi Qur’an dan Hadist bagi saya
bukan romantisme spiritual, tetapi petunjuk dan pedoman hidup di dunia-akhirat
yang universal sifatnya, yang tidak mengenal dimensi ruang dan waktu.
Bikarrommati
Syekh Muhammad Abdul Gaos Saefullah Maslul al Qodiri an Naqshabandi al Kamil
Mukamil, al Muwaffaq al Mujaddid...al Fatihah...
Comments
Post a Comment