Dalam sepekan terakhir, masyarakat Indonesia dihadapkan
kepada situasi sulit dalam hal perekonomian, pertama adalah kenaikan tarif
listrik yang disusul dengan kenaikan tarif biaya pengurusan surat-surat
kendaraan bermotor. Meskipun demikian, dalam konteks bernegara, kebijakan pemerintah menaikan 2 jenis biaya tarif tersebut masih bisa ditoleransi, karena berkaitan dengan kewenangan pemerintah selaku regulator. Akan tetapi disisi lain, kenaikan 2 jenis biaya tarif dalam waktu yang tidak terlalu jauh tersebut, bagi sebagian besar masyarakat cukup memberatkan.
Setelah kenaikan 2 jenis biaya tarif tersebut,
perekonomian masyarakat “dihantam” kembali dengan naiknya beberapa komoditi
bahan pangan, khususnya yang paling signifikan dan menjadi isu yang cukup kuat
beberapa hari terakhir adalah kenaikan harga cabai, dimana kenaikan yang
terjadi hampir mencapai 300% lebih. Berdasarkan keterangan yang disampaikan
oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution, kenaikan harga cabai yang seringkali
terjadi setiap tahun disebabkan karena kondisi cuaca yang sedang tidak baik,
dimana kekeringan panjang yang terjadi di Indonesia berdampak kepada turunnya
produksi cabai dalam negeri, sehingga otomatis harganya pun naik di pasaran
karena jumlah barnag yang tersedia lebih sedikit dari permintaan pasar. Selanjutnya
dinyatakan bahwa, pemerintah menjamin tidak ada kartel yang terlibat atau
menjadi penyebab kasus kenaikan harga cabai.
Menyatakan bahwa sebab kenaikan harga cabai adalah
faktor cuaca menjadi tidak relevan jika pada faktanya kasus kenaikan harga
bahan-bahan pokok ini hampir terjadi setiap tahun, karena jika masalah ini
merupakan masalah yang berulang, tentunya jauh-jauh hari pemerintah telah
membuat antisipasi atau langkah-langkah tertentu untuk menekan terjadinya
kenaikan harga.
Terlepas dari ada atau tidaknya peran kartel dalam
kasus terjadinya kenaikan harga cabai di pasaran, sebagai bahan untuk
mengingatkan kita semua, bahwa Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassalam sudah
menetapkan larangan-larangan dalam perniagaan yang dapat menyebabkan terjadinya
kenaikan harga barang secara tidak wajar. Beberapa larangan tersebut adalah:
1)
Talaqqi Rukbaan dan Ahlul Hadhoro
Dalam sebuah hadist disampaikan bahwa Rasululloh sholallohu ‘alaihi
wassalam bersabda:
وَ عَنْ طَا وُ سٍ عَنِ ا بْنِ عَبَّا
سٍ قَا ل : قَا لَ رَ ثُوْ لُ ا للهِ صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لاَ
تَلَقُّ ا ا لرُّ كْبَا نَ ، وَ لاَيَبِيْعُ حَا ضِرٌ لِبَا دٍ ، قُلْتُ لاِ بْنِ
عَبَّا سٍ : مَا قَوْ لُهُ : وَلاَ يَبِيْعُ حَا ضِرٌ لِبَدٍ ؟ قَا لَ : لاَ
يَكُوْ نُ لَهُ سِمْسَا رٌ ا . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَا للَّفْظُ لِلْبُخَا رِ
يَّ
Artinya:
Dari Thawus dari
Ibnu Abbas, dia berkata, “Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Janganlah kamu mengahadang
rombongan (pedagang) di tengah perjalanan (untuk membeli barang dagangan mereka
sebelum sampai pasar) dan janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang
kampung‘. Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, apa maksud sabda beliau, ‘...dan janganlah orang kota menjualkan barang
dagangan orang kampung?’ Ibnu Abbas menjawab, “Janganlah dia menjadi makelar
untuknya.“ (Muttafaq Alaih, dan lafazhnya adalah lafazh Al-Bukhari).
Larangan Rasululloh
sholallohu ‘alaihi wassalam untuk menghadang para pedagang sebelum mereka tiba
di pasar ini disebut dengan Talaqqi Rukban. Pada saat ini, praktek talaqqi
rukban dikenal dengan istilah para bandar atau pengepul yang membeli barang
dagangan dari produsen seperti petani dengan harga murah untuk kemudian dijual
kembali ke pasar dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Sedangkan tindakan menjadi makelar atau perantara dalam jual
beli seperti yang dinyatakan dalam hadist di atas disebut dengan Ahlul Hadhoro.
2)
Ihtikar
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ - عَنْ
يَحْيَى - وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ - قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ احْتَكَرَفَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ
مَعْمَرًا الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ.رواه مسلم
Artinya:
“Diceritakan dari Abdullah bin Maslamah
bin Qa’nab, diceritakan dari Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id berkata;
Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa sesungguhnya Ma’mar berkata; Rasululloh
sholallohu ‘alaihi wassalam pernah
bersabda: ‘Barang siapa yang melakukan praktek ihtikar (monopoli) maka dia
adalah seseorang yang berdosa.’ Kemudian dikatakan kepada Sa’id, maka
sesungguhnya kamu telah melakukan ihtikar, Sa’id berkata; sesungguhnya Ma’mar
yang meriwayatkan hadits ini ia juga melakukan ihtikar.”
Berdasarkan keterangan dalam kitab Badrul
Munir, mengutip yang disampaikan oleh Abu Mas’ud Al-Dimasyqi dari riwayat Ibnu
Musayyab menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh Sa’id adalah melakukan
penahanan atas barang berupa minyak. Sedangkan menurut Tirmidzi, Sa’id bin
Musayyab hanya melakukan penahanan atas beberapa komoditas yakni minyak, biji
gandum dan sejenisnya saja. Sedangkan menurut Abu Daud yang dilakukan Sa’id
adalah melakukan praktek ihtikar atas biji kurma, benang dan rempah-rempah.
Sedangkan menurut Ibnu Abdul Bar beliau menuturkan bahwa Sa’id dan Ma’mar
keduanya melakukan ihtikar atas minyak saja. Dan mereka berdua beranggapan yang
dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah melakukan penahanan atas barang-barang
yang menjadi kebutuhan pokok saja, bukan komoditas lain seperti minyak, biji
kurma, rempah-rempah serta komoditas lain yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Dalam perkembangannya praktek ihktikar
atau monopoli dalam perdagangan ini, termasuk juga kartel, telah berkembang
dalam berbagai bentuk dan cara dengan hakikat yang sama, yaitu
mengkonsentrasikan barang dagangan pada beberapa titik serta melakukan
pemufakatan diantara para penimbun barang untuk menetapkan harga secara sepihak
(biasanya ditetapkan harga yang tinggi) sehingga menyebabkan terjadinya
kenaikan harga barang yang signifikan di pasar.
Dalam kasus
kenaikan harga cabai, dan harga-harga kebutuhan bahan pokok yang terjadi setiap
tahun, tidak menutup kemungkinan terjadinya praktek talaqqi rukban dan ihtikar
secara sistematis yang melibatkan sebuah konspirasi besar diantara para pemilik
modal. Sebuah kejahatan sistemik dan konspiratif biasanya sangat sulit untuk
ditelusuri dan dibongkar serta membutuhkan waktu yang lama dan upaya
penyelidikan yang intensif untuk dapat membuktikannya.
Oleh karena
itu, sudah seharusnya pemerintah tidak dengan cepat mengambil kesimpulan dengan
menyatakan bahwa kenaikan harga cabai semata-mata disebabkan oleh faktor cuaca.
Pemerintah selaku regulator sekaligus pengawas dan penegak regulasi seharusnya
pro-aktif dan mengambil langkah-langkah yang cepat dalam mengatasi kenaikan
harga cabai dan harga bahan pokok pada umumnya. Menyalahkan “cuaca” sebagai
penyebab kenaikan harga menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki itikad baik
dan serius dalam melindungi kepentingan rakyatnya. Di sisi lain, rakyat
dituntut untuk melaksanakan kewajibannya kepada negara dengan baik, seperti
membayar pajak dan mematuhi kebijakan pemerintah yang memberatkan bagi rakyat,
seperti kenaikan biaya tarif listrik dan pengurusan surat-surat kendaraan
bermotor. Sikap pemerintah ini sungguh tidak memberikan rasa keadilan bagi
rakyat. Jika pemerintah taat kepada larangan Rasululloh sholallohu ‘alaihi
wassalam dalam hal perniagaan, mungkin kasus-kasus kenaiakan harga barang
secara tidak wajar ini akan jarang terjadi.
Comments
Post a Comment