Memasuki tahun 2017 ini sebagian besar masyarakat,
khususnya umat Islam, tersita perhatiannya dengan kebijakan pemerintah yang
memblokir beberapa media yang dianggap menyebarkan paham radikalisme. Tindakan pemerintah
ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari permintaan atau rekomendasi BNPT
untuk memblokir 22 situs media internet yang dianggap menyebarkan paham
radikalisme-terorisme.
Secara prinsip, mungkin kita semua sepakat bahwa
radikalisme dan terorisme adalah hal yang salah dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk mengatasi dan memeranginya, hanya saja yang menjadi pertanyaan
besar bagi sebagian masyarakat, khususnya umat Islam, sebenarnya apa yang
menjadi indikator dari radikalisme yang dimaksud oleh pemerintah? Lalu mengapa
sasarannya hanya media-media Islam saja? Hal ini seolah mendukung stigma yang
terus menguat bahwa Islam itu Radikal.
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita bahas sedikit tentang pa
sebenarnya terminologi radikalisme tersebut. Radikal
dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan. Sementara itu,
radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan
cara drastis dan kekerasan. Dalam perkembangannya, menurut penulis, bahwa
radikalisme kemudian diartikan juga sebagai faham yang menginginkan perubahan
besar.
Menurut
Horace M Kallen, radikalisme ditandai oleh tiga kecenderungan umum. Pertama,
radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons
tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan.
Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau
nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang
ditolak.
Kedua,
radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya
mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme
terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum
radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari
tatanan yang sudah ada.
Dan
ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau
ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan
keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada
kekerasan.
Merujuk kepadapandangan
tersebut, radikalisme tidak selamanya bterkait dengan gerakan keagamaan dan
tidak melulu tentang Islam. Di berbagai belahan dunia tersebar banyak kelompok
radikal yang bukan berbasiskan agama, seperti kelompok pemberontak Irlandia
(IRA), kelompok-kelompok radikal New Left seperti American Weather Underground dan the German Red
Army Faction, kelompok neo-NAZI, dan masih banyak lagi.
Radikalisme
berbasis agama juga tidak hanya ada di Islam, tetapi di agama-agama lain pun
ada. Beberapa contoh kelompok radikal berbasis agama non-Islam seperti kelompok
radikal Hindu Elan Tamil yang terkenal krana aksi bom bunuh dirinya di India. Lalu, radikalisme dalam agama Budha
muncul pada masa dinasti Sungga berkuasa. Setelah mereka membunuh raja
Brtadatha, maka hulubalang Pusyamitra Sungga naik tahta, ia seorang ortodox
yang dikenal dengan kebencian dan penindasannya terhadap para biksu. Ia merusak
wihara dan membunuh para biksu dengan imbalan 100 keping koin emas untuk setiap
kepala biksu yang bertentangan dengan dirinya. Sementara radikalisme dalam agam
Kristen muncul pada abad XVI, dengan adanya reformasi yang dilakukan oleh
kelompok Protestan. Reformasi tersebut memunculkan Gereja-gereja Protestan.
Sehingga perpecahan tersebut merupakan awal mula atau benih munculnya
radikalisme dalam agama Kristen. Tokohnya adalah seorang Marthin Luther King
yang dianggap sebagai kaum radikalis oleh kelompok Katholik, Marthin dianggap
mampu melakukan perubahan dalam struktur gereja baik secara fisik maupun ajaran
keagamaannya. Dalam agama Yahudi pun munculnya radikalisme ketika terjadi
pertentangan antara Yahudi orthodox dan Yahudi orthodox ekstrim. Kaum Yahudi
orthodox menerima paham zionisme dan konsep Negara Israel. Mereka berpandangan
bahwa untuk membangun Negara Israel raya tidak perlu menunggu kedatangan
seorang nabi, namun cukup dengan bekerja keras dalam membangun negara Israel.
Sementara kelompok Yahudi orthodox ekstrim menyangkal anggapan ini. Mereka menolak
paham zionisme dan konsep Negara Israel. Menurut kelompok garis keras ini tidak
boleh mendahului takdir Tuhan karena Tuhan akan mengirimkan nabi yang akan
membangun Negara Israel raya. Yahudi ini sangat ekstrim, radikal, dan rasis
seperti Baruch Goldstein yang membantai umat Islam yang sedang sholat subuh
pada tahun 1994. Seorang Yigal Amir yang membunuh PM Yitzhak Rabin karena ia
katanya diperintah oleh Tuhan. Dua kelompok Yahudi tersebut sampai hari ini
melakukan penjajahan atas warga Palestina.
Hari ini,
ketika kita menyebut kelompok radikal, maka pikiran dan persepsi kita akan
langsung tertuju kepada Islam, mungkin bagi orang yang awam hal ini wajar, akan
tetapi bagi pemerintah yang isinya orang-orang terpelajar termasuk BNPT??? Tentunya
tidak wajar jika mereka pun mengidentikan radikalisme dan kelompok radikal
kepada Islam. Oleh karena itu wajar jika muncul pertanyaan dan kecurigaan
kepada pemerintah dan BNPT terkait kebijakan pemblokiran dan penguatan stigma
Radikalisme=Islam.
Hingga saat
ini sudah ada 24 situs media Islam yang diblokir oleh Kementrian Informasi,
sekali lagi hanya Media Islam lho yang diblokir karena dianggap menyebarkan
paham radikalisme. Padahal di dunia maya ini bertebaran ribuan situs
radikalisme, mulai dari kelompok radikal berbasis ideologi maupun kelompok
radikal berbasis agama non-Islam. Nah situs-situs di luar Islam ini kenapa
tidak diblokir???
Berikut ini
saya tampilkan beberapa situs yang terindikasi memiliki paham radikalisme
berbasis agama non-Islam:
Dalam
beberapa contoh situs di atas, tidak hanya terkandung radikalisme, tapi juga
pernyataan-pernyataan yang mengandung fitnah, kebencian, dan berpotensi merusak
menciptakan konflik horizontal. Tapi bagi pemerintah dan BNPT situs-situs ini
tidak dianggap berbahaya, aman-aman saja. Hal ini semakin menguatkan pandangan
bahwa pemerintah “tebang pilih” dalam menerapkan kebijakan pembl
okiran atau memang pemerintah dan BNPT tidak ngerti dan ga mau ngerti bahwa Radikalisme itu esensinya bukan tentang agama, dan tidak hanya merujuk kepada Islam saja. Setiap kelompok yang memiliki pandangan sempit tentang kebenaran dan memaksakan visi kelompoknya melalui jalan kekerasan (verbal dan non-verbal), berpotensi menjadi kelompok radikal.
Jadi: STOP
PEMBLOKIRAN MEDIA ISLAM SEKARANG JUGA!!!!!!!!
Semoga
pemerintah dapat lebih bijak lagi dalam membuat dan menerapkan sebuah
kebijakan. Dan khusus bagi BNPT serta koleganya Densus 88, berhentilah
mempertontonkan kebodohan, berhentilah jadi alat bagi kekuasaan, tindak tegas
juga kelompok-kelompok lain yang menganut paham radikalisme-terorisme, jangan
persempit konsep tersebut menjadi ISLAM.
Semoga
kita semua dalam ridho dan limpahan berkah Alloh subhanahu wata’ala....
Comments
Post a Comment