Skip to main content

TASAWUF BID’AH?: MENJAWAB TUDUHAN BID’AH TERHADAP TASAWUF DAN THORIQOH (BAGIAN 1)


Sudah sejak lama muncul berbagai fitnah dan serangan kepada tasawuf dan thoriqoh dari mereka yang menganggap tasawuf dan thoriqoh merupakan sebuah kesesatan dan bid’ah. Hal ini dapat dimaklumi, karena mereka yang menganggap tasawuf dan thoriqoh sesat adalah mereka yang melihat dari kulit luarnya saja, tidak pernah sampai atau tahu kepada makna dan hakikat, apalagi merasa. Seluruh argumentasi yang disampaikan terlihat memaksa dan tidak mempertimbangkan kaitan dalil dan hujjah yang digunakan dengan dalil-dalil lainnya yang terkait.

Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap tulisan Abdullah Taslim Lc., MA. Pada tanggal 28 Oktober 2008 yang diberi judul “Hakikat Tasawuf” dengan keterangan: ringkasan tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tashawwuf, pembahasan: Mauqif Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah wa Ad Din (hal.17-38)

Dalam bagian kedua tulisan tersebut disampaikan beberapa kesesatan tasawuf dan thoriqoh yang secara ringkas saya tanggapi sebagai berikut:

Pertama, dikatakan bahwa para pengamal tasawuf beribadah hanya semata-mata menggunakan aspek mahabbah kepada Alloh Subhanahu Wa’taala semata dan menghilangkan atau mengenyampingkan aspek khauf (sara takut), raja’ (pengharapan), dzull (penghinaan diri), khudu’ (ketundukan), doa dan lain-lain. Pendapat seperti ini sungguh sangat menyesatkan, tidak berdasarkan kepada fakta empirik, studi literatur yang jelas, dan pengamatan yang objektif, hanya melihat tasawuf dan amaliyahnya secara sepotong-sepotong dan tidak utuh. Dalam rangkaian amaliyah tasawuf, keseluruhan aspek ibadah digunakan, penulis akan mengambil contoh dari Kitab Uquudul  Juman dan Amaliyah Mursyid dalam Thoriqoh Qodiriyah Naqshabandiyah (TQN).

Dalam kitab tersebut ditunjukan bahwa setiap akan melakukan ibadah khususnya sholat dan dzikir, selalui diawali dengan robithoh. Apa itu robithoh? Secara lugas Syeikh Muhammad Abdul Gaos Sefullah Maslul al Qodiri an Naqshabandi al Kamil Mukamil al Muwaffaq al Mujaddid menyatakan: “Robithoh adalah “..hubungan antara yang menghubungi dan yang dihubungi..”. Mengkoneksikan antara kita sebagai hamba dengan Alloh Subhanahu Wa’taala sebagai pencipta, karena inti dari ibadah doa, permintaan, permohonan yang disampaikan kepada Sang Maha Memiliki, Maha Menguasai. Jika ibadah kita tidak terhubung kepada Alloh Subhanahu Wa’taala, bagaimana mungkin ibadah tersebut diterima, bagaimana mungkin permohonan dan permintaan seorang hamba akan dipenuhi jika kita meminta kepada selain Alloh? Beberapa pemikiran yang sempit menyatakan: “Bukankah Alloh itu Maha Mendengar dan Mengetahui apa yang dinyatakan dan diinginkan oleh mahluknya? Lantas mengapa harus repot mengkoneksikan ibadah kita kepada Alloh?” Benar sekali Alloh Maha Mendengar dan Mengetahui, dan tanpa kita meminta pun Alloh sudah mengetahui apa yang kita butuhkan, tetapi kenapa Alloh memerintahkan kita untuk beribadah, berdoa, dan memohon HANYA kepada Alloh semata? Perintah tersebut jelas menunjukan bahwa kita harus memohon dan meminta pertolongan kepada Alloh dalam setiap urusan kita, karena pada intinya kita tidak memiliki daya dan upaya sama sekali, laa haula wala quwata illa billah...

Oleh karena itu kita diperintahkan untuk beribadah dan berdoa kepada Alloh bukan kepada yang lain. Untuk menunjukan ibadah kita itu kepada Alloh jalannya dengan robithoh, menghubungkan diri kita dengan Alloh melalui jalan dan saluran yang benar. Apakah kita semua berharap ibadah kita diterima jika dalam ibadah kita yang kita ingat adalah hal lain selain Alloh, ingat anak, ingat istri, ingat pekerjaan, singkatnya pandangan hati dan pikiran kita tidak tertuju kepada Alloh, sudah jelas ibadah kita tidak akan sampai. Untuk itulah diperlukan robithoh, menetapkan tujuan ibadah kita dan menyambungkannya.

Dari amaliyah robithoh ini saja sudah terkandung beberapa aspek dalam ibadah, aspek harapan agar ibadah sampai kepada Alloh, aspek rasa takut bahwa ibadah tidak sampai kepada Alloh jika tidak tersambung kepada Alloh sedari awal, aspek ketundukan dan perendahan diri, dengan menyadari sesadar-sadarnya bahwa kita ini bukanlah apa-apa dihadapan Alloh, hanyalah seorang hamba yang fakir yang tidak memiliki daya dan upaya.
Selanjutnya setelah robithoh dilanjutkan dengan istighfar, memohon ampunan kepada Alloh, karena setiap manusia tidak lepas dari segala salah dan dosa, baik yang disadari maupun tidak. Hal ini menunjukan bahwa para pengamal thoriqoh dalam tasawuf memiliki rasa takut akan dosa yang tidak diampuni Alloh, merasa senantiasa hina dimata Alloh Subhanahu Wa’taala. Memohon ampunan menunjukan ada harapan agar Alloh senantiasa mengampuni dosa dan kesalahan kita yang terjadi setiap saat, dari yang kecil hingga yang besar.

Kedua, dikatakan bahwa dalam menjalankan ibadah, para pengamal thoriqoh tidak berpedoman kepada Al Qur’an dan Hadist. Ini sungguh pernyataan yang sangat keliru dan terkesan “bodoh”. Dalam Kitab Amaliyah TQN, setiap pengamalnya wajib sholat fardhu bahkan sholat fardhu di awal waktu, tidak menunda-nunda sholat. Apakah ini tidak ada dalam Al Qur’an dan Hadist? Lalu para pengamal thoriqoh diperintahkan untuk berdzikir (zahar dan khofi) didalam dan diluar sholat, semakin sering semakin baik, karena inti dari ibadah adalah ingat kepada Alloh, merasakan kehadiran Alloh dalam setiap tarikan nafas, menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak lepas dari kehendak Alloh. Lalu apakah perintah untuk berdzikir tidak ada dalam Al Qur’an dan Hadist?

Ketiga, dikatakan bahwa para pengamal thoriqoh diharuskan menetapkan dzikir-dzikir dan wirid yang DIBUAT oleh para mursyidnya. Tuduhan ini sungguh sangat tidak berdasar dan makin memperlihatkan “kebodohan” dari yang menyatakan demikian. Sudah jelas bahwa dzikir (mengingat) kepada Alloh itu adalah ibadah yang dalilnya ada dalam Al Qur’an dan Hadist, baik dzikir yang dijaharkan maupun dzikir khofi? Perhatikan beberapa ayat berikut:
يا أيها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا, وسبحوه بكرة وأصيلا

Artinya : "hai sekalian orang yang mu'min! Ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya dan tasbihlah memuji Alloh pagi-pagi dan petang-petang" (QS. Al-Ahzab : 41-42).
Lalu dalam ayat berikut:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

Artinya: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’rof: 205).

Apakah masih tepat jika dikatakan bahwa perintah untuk berdzikir tidak ada dalam Al Qur’an??????

Lalu dzikir seperti apa yang dilafadzkan? Tentu saja nama Alloh yang dilafadzkan dalam lisan dan qolbu, dan yang umum dan utama dilafadzkan secara zahar adalah kalimah Laa ilaha illallah...apakah ini tidak ada dalam Al Qur’an dan Hadist???? Apakah kalimah dzikir tersebut buatan para mursyid thoriqoh???

Kalimah Laa ilaha illallah merupakan kalimat syahadat dan inti dari syahadat. Kalimah ini pula yang menjadi syarat dasar atau fondasi utama keimanan seorang muslim.

Perhatikan firman Alloh subhanahu wa’taala berikut ini:

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ يَسْتَكْبِرُونَ، وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ، بَلْ جَاء بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ


Artinya: “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “La ilaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan Rasul-Rasul (sebelumnya).” (QS Ash-Shaffat [37]: 35-37).

Dalam sebuah hadist diriwayatkan:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Artinya: “Zikir yang paling utama adalah bacaan ‘la ilaha illallah’.” (HR. At Turmudzi no. 3383, Ibn Hibban no. 846, dan dinilai sahih oleh Al Albani).

Masih banyak lagi hadist-hadist sahih yang menerangkan tentang kalimah dzikir laa ilaha illallah, yang bisa ikhwan-akhwat telusuri sendiri. Jadi berdasarkan beberapa dasar yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadist di atas, sungguh sangat tidak tepat menyaakan bahwa dzikir zahar dan zikir khofi yang diamalkan oleh para penganut thoriqoh merupakan dzikir yang mengada-ada atau buatan dari para murstid thoriqoh. Dzikir zahar dan dzikir khofi tersebut tidak lain merupakan perintah Alloh subhanahu wa’tala  yang dicontohkan oleh Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam, para sahabat, para pewarisnya secara sambung menyambung hingga hari ini. Oleh karena itu, dalam thoriqoh sangat penting untuk menetapkan ketersambungan silsilah mursyidnya hingga ke Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam, jika ada silsilah kemursyidan yang terputus dalam suatu thoriqoh, maka wajib bagi para murid untuk mencari mursyid lain yang tersambung dalam ahli silsilah hingga kepada Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam. Layaknya sebuah hadist yang harus sahih dalam hal sanad dan perawinya, seperti itu juga silsilah kemursyidan dalam thoriqoh, haruslah tersambung kepada Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam. Ini merupakan konsekuensi dari kalimah dzikir yang diturunkan, diamalkan, dan disebarkan secara turun temurun oleh para penerus Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam, yaitu para waliyulloh dan para mursyid.

Keempat, adalah sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqoh mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah ‘azza wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘azza wa jalla.

Masalah sikap berlebihan terhadap wali dan/atau mursyid dalam thoriqoh merupakan tuduhan yang tidak tepat. Dalam hal ini pertama-tama kita lihat dasar ayat yang digunakan oleh beliau yang melemparkan tuduhan ini, yaitu firman Alloh subhanahu wa’taala berikut:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Artinya: “Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maaidah: 55).
Dengan menggunakan dalil ini sebenarnya beliau sudah menjawab dan mengklarifikasi sendiri tuduhannya terhadap tashowuf dan thoriqoh, dan kita dapat bertanya, apakah salah jika kita mencintai (mahabbah) kepada para wali Alloh yaitu orang-orang yang beriman, serta mengikuti aqidah mereka dalam beribadah kepada Alloh???
Siapakah orang beriman itu? Dalam ayat di atas dinyatakan orang beriman adalah orang yang “mendirikan sholat dan menunaikan zakat, serta tunduk kepada Alloh”. Mendirikan sholat berarti menegakkan sholat, di dalam dan di luar sholat, bahwa sholat sebagai ibadah kepada Alloh benar-benar dilaksanakan sebagai wujud ketundukan dan penghambaan kepada Alloh sehingga berdampak dan mewujud dalam perilaku, persepsi, dan perkataan. Hanya orang-orang yang memiliki sifat ikhlas yang sebenar-benarnya lah yang dapat “mendirikan sholat”, orang-orang yang telah menancap dan menetap iman di dalam dada mereka, tidak bergeser satu milimeter pun iman tersebut, tidak naik dan tidak turun, tetap, konsisten, atau istiqomah. Mereka inilah yang disebut wali Alloh, bisa siapa saja, tetapi tidak semua orang, karena tidak mungkin semua muslim menjadi penolong bagi muslim yang lain, jika semua menjadi penolong, muslim mana yang akan ditolong?
Perhatikan firman Alloh subhanahu wata’ala berikut ini:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. 10:62) (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. 10:63) Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS. 10:64)” (QS. Yunus (10): 62-64).

Perhatikan juga hadist berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ

Artinya: Dari Abu Hurairah ra., dia berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhya Allah Ta’ala berfirman : ‘Barangsiapa yang memusuhi Wali-Ku maka Aku telah mengumumkan perang dengannya. Tidak ada taqarrubnya seorang hamba kepada-Ku yang lebih aku cintai kecuali dengan  beribadah dengan apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil (perkara-perkara sunnah) maka Aku akan mencintainya dan jika Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku niscaya akan Aku berikan dan jika dia minta perlindungan dari-Ku niscaya akan Aku lindungi.’ ” (HR. Bukhari).

Jadi sangat wajar jika kita, khususnya bagi para pengamal thoriqoh untuk mengikuti dan taat kepada para wali Alloh yang dapat dilihat dan ditemui secara dhohor maupun batin.

Mursyid adalah guru yang membimbing murid untuk berjalan menuju Alloh dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat derajatnya di sisi Alloh, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada istana Alloh.

Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari kelalaian. Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya menggunakan mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata:

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَانٌ

Artinya: “Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan”

Muhammad Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul Qulub fi mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan menuju Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian. Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia melakukan amal saleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya. Guru tersebut hidup semasa dengannya. Yaitu seorang guru yang terus meningkatkan diri ke berbagai kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Rasululloh shollalhu ‘alaihi wassalam.

Dalam sebuah hadist dinyatakan:

كُنْ مَعَ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَاِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلىَ اللهِ

Artinya: “Jadilah kamu bersama Allah, apabila tidak bersama Allah maka jadilah kalian bersama orang yang sudah bersama Allah, maka sesungguhnya orang itu bisa membawamu kepada Allah.” (HR. Abu Daud).

Hadist tersebut menjelaskan tentang peran penting seorang mursyid dalam thoriqoh, ini juga berkaitan dengan pembahasan tentang robithoh di atas, dimana seorang murid tidak mungkin sampai kepada Alloh subhanahu wata’ala tanpa mengikuti dan diantar oleh mursyidnya. Alloh subhanahu wata’ala adalah Maha Suci, Mursyid sebagai wali Alloh subhanahu wata’ala adalah orang suci, lalu kita sebagai murid adalah orang-orang yang sedang belajar yang sedang dalam proses pembersihan hati dan jiwa, yang masih banyak dosa-dosa dan keburukan yang melekat dalam hati dan jiwa. Agar para murid yang kotor ini bisa sampai kepada yang Maha Suci tentunya harus ikut dan tersambung kepada yang Suci.


Semoga kita semua selalu dalam lindungan dan ridho Alloh subahahu wata’ala...al Fatihah.

Comments

Dapatkan Hosting Murah dan Domain Gratis

Hosting Unlimited Indonesia

Popular posts from this blog

TANGGAPAN TERHADAP USTAD KHALID BASALAMAH TENTANG KAROMAT SYEIKH ABDUL QODIR JAELANI

Oleh: Uwais al Ikhwani Beberapa waktu lalu penulis menyaksikan sebuah video yang berdurasi sekitar 1 setengah menit yang menampilkan Ustad Khalid Basalamah sedang menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan kepada beliau tentang siapa itu Syeikh Abdul Qodir Jaelani QS. Dalam video tersebut Ust. Khalid Basamalah menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qodir Jaelani QS., adalah seorang ulama besar yang bermahzab Hanafi. Disampaikan kemudian bahwa Syeikh Abdul Qodir Jaelani QS. tidaklah seperti apa yang dinisbatkan oleh orang-orang selama ini dimana Syaikh Abdul Qodir Jaelani memiliki karomat atau kemampuan khusus seperti halnya mukjizat yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Untuk lebih jelasnya berikut ini penulis tampilkan video tersebut: Tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap Ust. Khalid Basalamah dan tanpa adanya tendensi negatif sedikit pun mengingat pesan yang diamanatkan Syeikh Mursyid (guru penulis) dalam tanbih: 1) Jangan menghina ulama sezaman; 2) Jangan memeriksa mur

"Sejarah Sang Waliyulloh": Sepenggal Cerita Perjumpaan Syeikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul al Quthub (Abah Aos) dan Sayyid Ahmad Al Maliki (Abuya Ahmad) saat umroh Tahun 2015

Abah Aos sebagai pewaris kemursyidan Abah Anom dan Abuya Ahmad, dalam pelaksanaan Umroh Tahun 2015 keduanya bersama-sama melaksanakan khidmah amaliyyah Manaqib Tuan Syaikh Abdul Qodir Al Jailani. Keduanya bertemu dengan penuh kehangatan dan rasa cinta. Ekpresinya sangat tampak menunjukkan mahabbahnya. Tutur bahasa yang beliau sampaikan dalam taushiyahnya menegaskan penghormatan luar biasa kepada Abah Aos. Begitupun sebaliknya. Beberapa point yang disampaikan oleh Abuya Ahmad diantaranya adalah: Semenjak ayah saya sampai saat ini, baru sekarang menerima tamu di pagi hari, terlebih dalam jumlah yang besar seperti ini. Mengapa saat ini kami menerima para jamaah sekalian? Karena cinta saya kepada beliau (Abah Aos) begitu besarnya. Dan cinta itulah yang menjadikan apapun menjadi tidak terhalang. Saya mencintai beliau sebagaimana beliau mencintai saya dan ayah saya. Kami disinipun adalah para murid Syaikh Abdul Qodir Jailani. Semenjak ayah saya hingga saat ini, tuan Syaikh selalu k

PERTEMUAN PARA PECINTA KESUCIAN JIWA

Tadi malam, Sayyid Syeikh al-Habib Luthfi bin Ali bi Yahya tiba di Pesantren Peradaban Dunia JAGAT 'ARSY, BSD, Indonesia. Kedatangan beliau untuk bersilaturahim dengan Pangersa Guru Agung Abah Aos dalam rangka tahniah Maulid Abah Aos yang ke-73. Ini pertemuan yang kesekian kalinya Habib Luthfi dengan Pangersa Abah di JAGAT 'ARSY, pertemuan dua Wali Agung yang penuh kehangatan dan keakraban. Perjumpaan ini sudah beberapa kali direncanakan namun baru malam tadi bisa terjadi. Dalam temu kangen para kekasih Alloh ini dimeriahkan hiburan relijius tim kesenian Sinaurasa asuhan Kh Dr Irfan Zidni Wahab. Tampak Habib Luthfi pun turut serta bermain musik. Pada kesempatan silaturahim kali ini juga hadir Syeikh Abdul Aziz Abdin al-Mahdi al-Husaini PhD (Amerika) dan Syeikh Aziz el-Qobaiti Idrisi al-Mahadi al-Hasani (Maroko). Lengkap sudah para duriyyah wa nuriyyah kumpul di Kanzul 'Arsy Wisma 111. Salam Pecinta Kesucian Jiwa.