Sudah sejak lama muncul berbagai fitnah dan serangan kepada
tasawuf dan thoriqoh dari mereka yang menganggap tasawuf dan thoriqoh merupakan
sebuah kesesatan dan bid’ah. Hal ini dapat dimaklumi, karena mereka yang
menganggap tasawuf dan thoriqoh sesat adalah mereka yang melihat dari kulit
luarnya saja, tidak pernah sampai atau tahu kepada makna dan hakikat, apalagi
merasa. Seluruh argumentasi yang disampaikan terlihat memaksa dan tidak
mempertimbangkan kaitan dalil dan hujjah yang digunakan dengan dalil-dalil
lainnya yang terkait.
Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap tulisan Abdullah Taslim
Lc., MA. Pada tanggal 28 Oktober 2008 yang diberi judul “Hakikat Tasawuf”
dengan keterangan: ringkasan tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya
Haqiqat At Tashawwuf, pembahasan: Mauqif Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah
wa Ad Din (hal.17-38).
Dalam bagian kedua tulisan tersebut disampaikan beberapa kesesatan
tasawuf dan thoriqoh yang secara ringkas saya tanggapi sebagai berikut:
Pertama, dikatakan bahwa para pengamal tasawuf
beribadah hanya semata-mata menggunakan aspek mahabbah kepada Alloh Subhanahu
Wa’taala semata dan menghilangkan atau mengenyampingkan aspek khauf (sara
takut), raja’ (pengharapan), dzull (penghinaan diri), khudu’ (ketundukan), doa
dan lain-lain. Pendapat seperti ini sungguh sangat menyesatkan, tidak
berdasarkan kepada fakta empirik, studi literatur yang jelas, dan pengamatan
yang objektif, hanya melihat tasawuf dan amaliyahnya secara sepotong-sepotong
dan tidak utuh. Dalam rangkaian amaliyah tasawuf, keseluruhan aspek ibadah
digunakan, penulis akan mengambil contoh dari Kitab Uquudul Juman dan Amaliyah Mursyid dalam Thoriqoh
Qodiriyah Naqshabandiyah (TQN).
Dalam kitab tersebut ditunjukan bahwa setiap akan melakukan
ibadah khususnya sholat dan dzikir, selalui diawali dengan robithoh. Apa itu
robithoh? Secara lugas Syeikh Muhammad Abdul Gaos Sefullah Maslul al Qodiri an
Naqshabandi al Kamil Mukamil al Muwaffaq al Mujaddid menyatakan: “Robithoh
adalah “..hubungan antara yang menghubungi dan yang dihubungi..”.
Mengkoneksikan antara kita sebagai hamba dengan Alloh Subhanahu Wa’taala
sebagai pencipta, karena inti dari ibadah doa, permintaan, permohonan yang
disampaikan kepada Sang Maha Memiliki, Maha Menguasai. Jika ibadah kita tidak
terhubung kepada Alloh Subhanahu Wa’taala, bagaimana mungkin ibadah tersebut
diterima, bagaimana mungkin permohonan dan permintaan seorang hamba akan
dipenuhi jika kita meminta kepada selain Alloh? Beberapa pemikiran yang sempit
menyatakan: “Bukankah Alloh itu Maha Mendengar dan Mengetahui apa yang
dinyatakan dan diinginkan oleh mahluknya? Lantas mengapa harus repot
mengkoneksikan ibadah kita kepada Alloh?” Benar sekali Alloh Maha Mendengar dan
Mengetahui, dan tanpa kita meminta pun Alloh sudah mengetahui apa yang kita
butuhkan, tetapi kenapa Alloh memerintahkan kita untuk beribadah, berdoa, dan
memohon HANYA kepada Alloh semata? Perintah tersebut jelas menunjukan
bahwa kita harus memohon dan meminta pertolongan kepada Alloh dalam setiap
urusan kita, karena pada intinya kita tidak memiliki daya dan upaya sama
sekali, laa haula wala quwata illa billah...
Oleh karena itu kita diperintahkan untuk beribadah dan
berdoa kepada Alloh bukan kepada yang lain. Untuk menunjukan ibadah kita itu
kepada Alloh jalannya dengan robithoh, menghubungkan diri kita dengan Alloh
melalui jalan dan saluran yang benar. Apakah kita semua berharap ibadah kita
diterima jika dalam ibadah kita yang kita ingat adalah hal lain selain Alloh,
ingat anak, ingat istri, ingat pekerjaan, singkatnya pandangan hati dan pikiran
kita tidak tertuju kepada Alloh, sudah jelas ibadah kita tidak akan sampai.
Untuk itulah diperlukan robithoh, menetapkan tujuan ibadah kita dan
menyambungkannya.
Dari amaliyah robithoh ini saja sudah terkandung beberapa
aspek dalam ibadah, aspek harapan agar ibadah sampai kepada Alloh, aspek rasa
takut bahwa ibadah tidak sampai kepada Alloh jika tidak tersambung kepada Alloh
sedari awal, aspek ketundukan dan perendahan diri, dengan menyadari
sesadar-sadarnya bahwa kita ini bukanlah apa-apa dihadapan Alloh, hanyalah
seorang hamba yang fakir yang tidak memiliki daya dan upaya.
Selanjutnya setelah robithoh dilanjutkan dengan istighfar,
memohon ampunan kepada Alloh, karena setiap manusia tidak lepas dari segala
salah dan dosa, baik yang disadari maupun tidak. Hal ini menunjukan bahwa para
pengamal thoriqoh dalam tasawuf memiliki rasa takut akan dosa yang tidak
diampuni Alloh, merasa senantiasa hina dimata Alloh Subhanahu Wa’taala. Memohon
ampunan menunjukan ada harapan agar Alloh senantiasa mengampuni dosa dan
kesalahan kita yang terjadi setiap saat, dari yang kecil hingga yang besar.
Kedua, dikatakan bahwa dalam menjalankan ibadah, para
pengamal thoriqoh tidak berpedoman kepada Al Qur’an dan Hadist. Ini sungguh
pernyataan yang sangat keliru dan terkesan “bodoh”. Dalam Kitab Amaliyah TQN,
setiap pengamalnya wajib sholat fardhu bahkan sholat fardhu di awal waktu,
tidak menunda-nunda sholat. Apakah ini tidak ada dalam Al Qur’an dan Hadist?
Lalu para pengamal thoriqoh diperintahkan untuk berdzikir (zahar dan khofi)
didalam dan diluar sholat, semakin sering semakin baik, karena inti dari ibadah
adalah ingat kepada Alloh, merasakan kehadiran Alloh dalam setiap tarikan
nafas, menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak lepas dari kehendak
Alloh. Lalu apakah perintah untuk berdzikir tidak ada dalam Al Qur’an dan
Hadist?
Ketiga, dikatakan bahwa para pengamal thoriqoh
diharuskan menetapkan dzikir-dzikir dan wirid yang DIBUAT oleh para
mursyidnya. Tuduhan ini sungguh sangat tidak berdasar dan makin memperlihatkan
“kebodohan” dari yang menyatakan demikian. Sudah jelas bahwa dzikir (mengingat)
kepada Alloh itu adalah ibadah yang dalilnya ada dalam Al Qur’an dan Hadist,
baik dzikir yang dijaharkan maupun dzikir khofi? Perhatikan beberapa ayat
berikut:
يا أيها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا,
وسبحوه بكرة وأصيلا
Artinya : "hai sekalian orang
yang mu'min! Ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya dan tasbihlah memuji Alloh
pagi-pagi dan petang-petang" (QS. Al-Ahzab : 41-42).
Lalu dalam ayat berikut:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ
تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
Artinya: “Dan
sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’rof: 205).
Apakah masih tepat jika dikatakan
bahwa perintah untuk berdzikir tidak ada dalam Al Qur’an??????
Lalu dzikir seperti apa yang
dilafadzkan? Tentu saja nama Alloh yang dilafadzkan dalam lisan dan qolbu, dan
yang umum dan utama dilafadzkan secara zahar adalah kalimah Laa ilaha illallah...apakah
ini tidak ada dalam Al Qur’an dan Hadist???? Apakah kalimah dzikir tersebut
buatan para mursyid thoriqoh???
Kalimah Laa ilaha illallah
merupakan kalimat syahadat dan inti dari syahadat. Kalimah ini pula yang
menjadi syarat dasar atau fondasi utama keimanan seorang muslim.
Perhatikan firman Alloh subhanahu
wa’taala berikut ini:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ يَسْتَكْبِرُونَ، وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا
لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ، بَلْ جَاء بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ
Artinya: “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka:
“La ilaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka
menyombongkan diri. Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus
meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” Sebenarnya
dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan Rasul-Rasul
(sebelumnya).” (QS Ash-Shaffat [37]: 35-37).
Dalam sebuah hadist diriwayatkan:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Artinya: “Zikir yang paling utama adalah bacaan ‘la ilaha illallah’.” (HR. At Turmudzi no. 3383, Ibn Hibban no. 846, dan dinilai
sahih oleh Al Albani).
Masih banyak lagi hadist-hadist sahih
yang menerangkan tentang kalimah dzikir laa ilaha illallah, yang bisa
ikhwan-akhwat telusuri sendiri. Jadi berdasarkan beberapa dasar yang terdapat
dalam Al Qur’an dan Hadist di atas, sungguh sangat tidak tepat menyaakan bahwa
dzikir zahar dan zikir khofi yang diamalkan oleh para penganut thoriqoh
merupakan dzikir yang mengada-ada atau buatan dari para murstid thoriqoh. Dzikir
zahar dan dzikir khofi tersebut tidak lain merupakan perintah Alloh subhanahu
wa’tala yang dicontohkan oleh Rasululloh
sholallahu ‘alaihi wassalam, para sahabat, para pewarisnya secara sambung
menyambung hingga hari ini. Oleh karena itu, dalam thoriqoh sangat penting
untuk menetapkan ketersambungan silsilah mursyidnya hingga ke Rasululloh
sholallahu ‘alaihi wassalam, jika ada silsilah kemursyidan yang terputus dalam
suatu thoriqoh, maka wajib bagi para murid untuk mencari mursyid lain yang
tersambung dalam ahli silsilah hingga kepada Rasululloh sholallahu ‘alaihi
wassalam. Layaknya sebuah hadist yang harus sahih dalam hal sanad dan
perawinya, seperti itu juga silsilah kemursyidan dalam thoriqoh, haruslah
tersambung kepada Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam. Ini merupakan
konsekuensi dari kalimah dzikir yang diturunkan, diamalkan, dan disebarkan
secara turun temurun oleh para penerus Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam,
yaitu para waliyulloh dan para mursyid.
Keempat, adalah sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem)
orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan
guru-guru thariqoh mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal
Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala
(mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah ‘azza
wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘azza wa jalla.
Masalah sikap berlebihan terhadap wali dan/atau mursyid
dalam thoriqoh merupakan tuduhan yang tidak tepat. Dalam hal ini pertama-tama
kita lihat dasar ayat yang digunakan oleh beliau yang melemparkan tuduhan ini,
yaitu firman Alloh subhanahu wa’taala berikut:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ
وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَهُمْ رَاكِعُونَ
Artinya: “Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu)
hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al
Maaidah: 55).
Dengan menggunakan dalil ini sebenarnya beliau sudah
menjawab dan mengklarifikasi sendiri tuduhannya terhadap tashowuf dan thoriqoh,
dan kita dapat bertanya, apakah salah jika kita mencintai (mahabbah) kepada para
wali Alloh yaitu orang-orang yang beriman, serta mengikuti aqidah mereka dalam
beribadah kepada Alloh???
Siapakah orang beriman itu? Dalam ayat di atas
dinyatakan orang beriman adalah orang yang “mendirikan sholat dan menunaikan
zakat, serta tunduk kepada Alloh”. Mendirikan sholat berarti menegakkan sholat,
di dalam dan di luar sholat, bahwa sholat sebagai ibadah kepada Alloh
benar-benar dilaksanakan sebagai wujud ketundukan dan penghambaan kepada Alloh
sehingga berdampak dan mewujud dalam perilaku, persepsi, dan perkataan. Hanya orang-orang
yang memiliki sifat ikhlas yang sebenar-benarnya lah yang dapat “mendirikan
sholat”, orang-orang yang telah menancap dan menetap iman di dalam dada mereka,
tidak bergeser satu milimeter pun iman tersebut, tidak naik dan tidak turun,
tetap, konsisten, atau istiqomah. Mereka inilah yang disebut wali Alloh, bisa
siapa saja, tetapi tidak semua orang, karena tidak mungkin semua muslim menjadi
penolong bagi muslim yang lain, jika semua menjadi penolong, muslim mana yang
akan ditolong?
Perhatikan firman Alloh subhanahu wata’ala berikut
ini:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي
الْآَخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. (QS. 10:62) (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertakwa. (QS. 10:63) Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan
dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang
besar. (QS. 10:64)” (QS. Yunus (10):
62-64).
Perhatikan juga hadist berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ
اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ،
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ
عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ
الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ
اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ
Artinya: Dari Abu Hurairah ra., dia berkata, bahwa Rasulullah saw.
bersabda : “Sesungguhya Allah Ta’ala berfirman :
‘Barangsiapa yang memusuhi Wali-Ku maka Aku telah mengumumkan perang dengannya.
Tidak ada taqarrubnya seorang hamba kepada-Ku yang lebih aku cintai kecuali
dengan beribadah dengan apa yang telah
Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku
dengan nawafil (perkara-perkara sunnah) maka Aku akan mencintainya dan jika Aku
telah mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan untuk
mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang
digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia
meminta kepada-Ku niscaya akan Aku berikan dan jika dia minta perlindungan
dari-Ku niscaya akan Aku lindungi.’ ” (HR.
Bukhari).
Jadi sangat wajar jika kita, khususnya bagi para
pengamal thoriqoh untuk mengikuti dan taat kepada para wali Alloh yang dapat
dilihat dan ditemui secara dhohor maupun batin.
Mursyid adalah guru yang membimbing murid untuk
berjalan menuju Alloh dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu,
murid meningkat derajatnya di sisi Alloh, mencapai Rijalallah, dengan berbekal
ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta
mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid
sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru
yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali
keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah
Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid
masuk kepada istana Alloh.
Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi
murid untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari
kelalaian. Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya menggunakan
mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata:
مَنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَانٌ
Artinya: “Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka
syekh mursyidnya adalah syetan”
Muhammad Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul
Qulub fi mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin
meniti jalan menuju Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian.
Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia
melakukan amal saleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang
ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya.
Guru tersebut hidup semasa dengannya. Yaitu seorang guru yang terus meningkatkan
diri ke berbagai kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat.
Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta
mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Rasululloh
shollalhu ‘alaihi wassalam.
Dalam sebuah hadist dinyatakan:
كُنْ مَعَ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ
اللهِ فَاِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلىَ اللهِ
Artinya: “Jadilah kamu bersama Allah, apabila tidak bersama
Allah maka jadilah kalian bersama orang yang sudah bersama Allah, maka
sesungguhnya orang itu bisa membawamu kepada Allah.” (HR. Abu Daud).
Hadist tersebut menjelaskan tentang peran penting seorang
mursyid dalam thoriqoh, ini juga berkaitan dengan pembahasan tentang robithoh
di atas, dimana seorang murid tidak mungkin sampai kepada Alloh subhanahu wata’ala
tanpa mengikuti dan diantar oleh mursyidnya. Alloh subhanahu wata’ala adalah
Maha Suci, Mursyid sebagai wali Alloh subhanahu wata’ala adalah orang suci,
lalu kita sebagai murid adalah orang-orang yang sedang belajar yang sedang
dalam proses pembersihan hati dan jiwa, yang masih banyak dosa-dosa dan
keburukan yang melekat dalam hati dan jiwa. Agar para murid yang kotor ini bisa
sampai kepada yang Maha Suci tentunya harus ikut dan tersambung kepada yang
Suci.
Semoga kita semua selalu dalam lindungan dan ridho Alloh
subahahu wata’ala...al Fatihah.
Comments
Post a Comment